Sunday, October 4, 2015

PENDIDIKAN ISLAM DI ERA GLOBALISASI: PELUANG DAN TANTANGAN

·   0


Oleh : Azyumardi Azra
(Gurubesar dan Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta)
Wacana tentang pendidikan Islam kembali menghangat belakangan ini, baik dalam kaitannya dengan upaya peningkatan kualitas pendidikan Islam secara keseluruhan, maupun dengan penerapan desentralisasi pendidikan melalui otonomi daerah. Berbagai perubahan juga telah terjadi dalam pendidikan Islam pada berbagai lembaga dan dan levelnya. Perubahan-perubahan itu tidak bisa lain disebabkan faktor-faktor internal Indonesia sendiri, maupun eksternal, khususnya globalisasi yang terus meningkat dalam dasawarsa terakhir.
Lebih dari itu, sampai sekarang ini saya masih sering mendapat pertanyaan dari berbagai wartawan luarnegeri tentang pendidikan Islam di Indonesia; mereka menganggap ada “potensi radikalisme” dari pesantren dan madrasah; mereka mempersepsikan kedua lembaga pendidikan Islam kita sama dengan madrasah di Afghanistan atau Pakistan yang menurut mereka menjadi “hotbed of radicalism” atau ‘the breeding ground of Talibanism’.
Persepsi seperti itu—cukup tipikal—lazim di kalangan Barat umumnya. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu juga muncul, misalnya, ketika saya mempresentasikan makalah bertajuk “Mainstreaming Islamic Education” dalam forum seminar USINDO, Washington DC, 31 Maret 2004. Argumen pokok saya adalah, bahwa madrasah dan pesantren atau lembaga pendidikan Islam umumnya di Indonesia—meski telah mendapatkan pengakuan dalam UUSPN 1989 dan UUSPN 2003, tetapi kebijakan dan program pengarusutamaan madrasah, pesantren, sekolah-sekolah Islam, STAIN, IAIN dan UIN masih perlu diwujudkan secara lebih aktual lagi. Alasannya, madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam ini masih marjinal dan terdiskriminasi dalam sistem pendidikan nasional Indonesia secara keseluruhan.
Makalah ini berusaha melihat pendidikan Islam, khususnya madrasah, secara historis, sosiologis dan politis. Sekali lagi, perubahan-perubahan yang terjadi baik pada tingkat politis maupun sosiologis di Indonesia telah menimbulkan perubahan-perubahan juga dalam pendidikan Islam, termasuk madrasah. Lagi-lagi, tak kurang pentingnya, proses globalisasi yang semakin meningkat dalam dasawarsa terakhir juga menghadirkan berbagai tantangan baru bagi lembaga-lembaga pendidikan Islam, madrasah dan pesantren khususnya.
Dua dasawarsa terakhir—pasca UUSPN 1989—sesungguhnya merupakan masa yang penuh peluang dan sekaligus tantangan bagi dunia pendidikan Islam umumnya. Peluang, karena dalam masa-masa inilah kita menyaksikan meningkatnya “new attachment” kepada Islam di kalangan banyak masyarakat Muslim. Secara sosiologis, meningkatnya kecintaan kepada Islam ini membuat banyak kalangan orangtua, khususnya kalangan “kelas menengah” Muslim yang tengah tumbuh (Muslim rising middle class), semakin berusaha mendapatkan pendidikan Islam yang berkualitas bagi anak-anak mereka. Keinginan mereka pada dasarnya adalah mendapatkan pendidikan umum plus Islam di mana peserta didik tidak hanya bergumul dengan ilmu-ilmu yang penting untuk kehidupan masa kini di dunia ini, tetapi juga ilmu-ilmu dan amal Islam. Atau sebaliknya, pendidikan berbasis agama—dalam hal ini pesantren, madrasah, sekolah Islam, dan kini juga UIN—tetapi juga unggul dalam ilmu-ilmu umum.
Pendidikan Islam dalam Sejarah
Meski pendidikan Islam merupakan pendidikan yang sesungguhnya universal yang merakyat bagi masyarakat Muslim Indonesia, secara historis bagian terbesar sejarah pendidikan Islam adalah sejarah tentang keterpinggiran dan marjinalisasi. Dalam masa penjajahan Belanda, pendidikan Islam yang terpusat pada pesantren, surau, dayah, dan lembaga-lembaga pendidikan lain semacamnya, yang terutama berkembang luas sejak abad 19, bahkan sengaja menguzlahkan diri dari kekuasaan kolonial. Uzlah ke dalam lembaga pendidikan ini bahkan merupakan bentuk perlawanan secara diam (silent opposition) terhadap kolonialisme Belanda.
Sebagai kontras, pada saat yang sama pendidikan missionaris berkembang pesat, yang selain didukung gereja, juga secara langsung maupun tidak langsung juga mendapat berbagai fasilitas dari pemerintah kolonial Belanda. Hasilnya, jika lembaga-lembaga pendidikan Kristen ini kemudian memiliki mutu pendidikan yang lebih baik, maka hal itu tidaklah mengherankan sama sekali. Baik secara kelembagaan maupun tradisi kependidikan, lembaga-lembaga pendidikan Kristen ini telah berusia begitu panjang, jika dibandingkan dengan lembaga pendidikan yang memiliki orientasi keunggulan. Karena ini, sekolah-sekolah Kristen memang memiliki headstart yang sangat jauh, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam unggulan semacam al-Azhar, al-Izhar, Madania, atau Muthahhari dan kini lebih banyak lagi, pada dasarnya merupakan “very late starter”, dan dengan demikian harus berusaha mati-matian untuk mengejar mereka yang memiliki headstart dan merupakan “early starter”.
Begitu juga pada tingkat pendidikan tinggi Islam yang baru muncul secara meluas sejak akhir 1950-an dan lebih banyak lagi pada 1960an dengan berdirinya berbagai IAIN di ibukota provinsi dan bahkan dengan fakultas [cabang] di kota kabupaten. Tapi kita semua tahu, bahwa IAIN berada pada margin pendidikan Indonesia, yang mengalami diskriminasi dalam berbagai bentuknya. Perubahan beberapa IAIN dan STAIN menjadi UIN yang dimulai UIN Jakarta (20 Mei 2002) merupakan momentum penting dalam konteks ‘mainstreaming of Islamic higher education’, yang—sekali lagi—masih perlu diakselerasikan.
Kembali kepada sejarah pendidikan Islam, sejak awal kemerdekaan, pendidikan Islam tetap berada di pinggiran. Keadaan ini terus berlanjut sepanjang sisa dasawarsa 1950-an itu dan bahkan berlanjut dalam dasawarsa 1960an, Indonesia adalah wilayah yang penuh gejolak, yang pada gilirannya mempengaruhi perkembangan pendidikan Islam. Dasawarsa 1950-an ditandai dengan pertarungan politik dan ideologi sebagai akibat dari sistem multi partai. Dan, partai-partai Islam gagal dalam mewujudkan keunggulannya dalam Pemilu 1955. Selanjutnya adalah meningkatnya kekuasaan dan dominasi Presiden Soekarno, yang dalam banyak hal menimbulkan implikasi yang kurang menguntungkan bagi berbagai aspek kehidupan kaum Muslimin, khususnya dalam bidang pendidikan.
Sekitar 20 tahun pertama masa kekuasaan Orde Baru, hubungan yang kurang mulus antara umat Islam dengan pemerintahan Presiden Soeharto membuat lembaga-lembaga pendidikan Islam sejak dari pesantren, madrasah sampai kepada sekolah-sekolah Islam dan IAIN tetap berada di pinggir. Meski demikian, sejak 1970-an, sebagai konsekuensi dari developmentalism Orde Baru, madrasah, pesantren dan IAIN juga mulai mengalami modernisasi. Sejak Mukti Ali menjabat sebagai menteri agama membuat entry point modernisasi madrasah dan pesantren itu melalui SKB Tiga Menteri (Menteri Agama, Menteri P&K, dan Menteri Dalam Negeri) No. 6 tahun 1975 yang menggariskan agar madrasah—yang tentu saja terdapat di pesantren umumnya—pada semua jenjang sama posisinya dengan sekolah umum; dan untuk itu, kurikulum madrasah haruslah 70 persen pelajaran umum dan 30 persen pelajaran agama (Munhanif 1998:313-4).
SKB Tiga Menteri ini merupakan salah satu tonggak terpenting dalam integrasi madrasah ke dalam mainstream pendidikan nasional, dan sekaligus peningkatan kualitas SDM yang belajar pada madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya. Lebih jauh lagi, kebijakan Tiga Menteri ini pada hakikatnya merupakan langkah awal bagi “reintegrasi” ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum dalam madrasah, yang pada gilirannya juga mengimbas pada lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya.
Meski kebijakan Tiga Menteri ini semula mendapat tantangan keras dari kalangan pengelola pendidikan Islam—pesantren dan madrasah khususnya—tetapi gelindingan modernisasi madrasah dan pesantren sudah tidak bisa dimundurkan lagi. Dalam gelindingan modernisasi itu, madrasah dan pesantren berhadapan dengan “krisis identitas” yang memang sejak semula sudah dikhawatirkan mereka yang menentang kebijakan tersebut. Bahwa, muatan pelajaran umum yang begitu besar, pada gilirannya dapat menghilangkan misi, substansi, dan karakter madrasah dan pesantren. Pergulatan identitas ini masih terus berlanjut sampai sekarang ini. Sistem pendidikan Islam umumnya sering sekali masih bergulat di antara “academic expectation”, harapan untuk keunggulan akademis dan mutu pendidikan sebagai lembaga pendidikan, dengan “social expectation”, harapan sosial umat Islam bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam memikul tugas pembinaan anak-anak umat sebagai lembaga dakwah (cf Azra 1999a, 1999b).
Tetapi, sekali lagi, modernisasi pendidikan Islam—khususnya madrasah, pesantren dan IAIN/STAIN—nampaknya sudah menjadi keharusan sejarah. Dan, pada tingkat dasar dan menengah, modernisasi itu akhirnya dikukuhkan dengan UUSPN 1989 yang selain secara umum mengakui sistem pendidikan Islam, tetapi juga menetapkan bahwa madrasah ekuivalen dengan sekolah-sekolah umum. Bahkan, madrasah pada dasarnya adalah “sekolah umum” yang memiliki ciri keagamaan (Islam). Tetapi, bagaimana perumusan “ciri”, “nuansa”, atau “karakter” Islam itu, sampai sekarang ini masih merupakan agenda yang belum terselesaikan secara tuntas.
Dengan perkembangan status yang semakin kuat, situasi sosiologis umat Islam sepanjang dasawarsa 1990-an—seperti diisyaratkan di atas—membukakan peluang yang lebih besar bagi munculnya eksperimen-eksperimen baru dalam pendidikan Islam untuk meningkatkan kualitasnya. Sejak dasawarsa terakhir abad 20 tersebut, muncullah sekolah-sekolah Islam swasta yang dalam perkembangannya disebut sebagai “sekolah Islam plus”, “sekolah Islam unggulan”, dan bahkan “sekolah elit Islam/Muslim”, semacam Sekolah Islam al-Azhar, al-Izhar, Muthahhari, Insan Cendekia, Madania, Dwiwarna, dan banyak lagi.
Seperti saya kemukakan (Azra 1999:72ff), sekolah-sekolah Islam ini disebut “elit”, “unggulan” atau “plus” karena beberapa alasan: Pertama, sekolah-sekolah ini menerima siswa-siswanya secara sangat kompetitif, baik dari segi kemampuan akademis maupun keuangan; kedua, guru-guru yang mengajar juga diterima melalui penyaringan dan seleksi yang sangat kompetitif; ketiga, sekolah-sekolah ini memiliki berbagai prasarana dan sarana pendidikan yang jauh lebih baik dan lebih lengkap dibandingkan sekolah-sekolah Islam, madrasah dan bahkan sekolah-sekolah negeri lainnya.
Tetapi di lingkungan madrasah juga mulai muncul madrasah unggulan; baik negeri maupun swasta pada berbagai tingkatnya. Contoh-contoh yang sering disebut misalnya MIN I Malang, Madrasah Pembangunan UIN Jakarta, Madrasah Aliyah Insan Cendekia Serpong dan Gorontalo. Masih diperlukan penelitian lebih lanjut tentang madrasah-madrasah favorit seperti ini.
Dengan perkembangan seperti itu, tidak heran kalau kemudian para siswa sekolah Islam dan madrasah unggulan tersebut juga memiliki kualitas lebih baik dan lebih unggul; mereka semakin bisa bersaing dalam rangking nasional siswa-siswa terbaik yang sebelumnya didominasi sekolah-sekolah Katolik khususnya.
Kini, sementara proses modernisasi pendidikan Islam dan kebangkitan sekolah Islam dan madrasah unggulan masih jauh daripada selesai tantangan-tantangan baru yang bersifat global telah hadir pula. Tantangan-tantangan global itu—dalam bentuk globalisasi dan “globalisme”—menyangkut tidak hanya bidang ekonomi, politik dan informasi, tetapi juga dalam bidang pendidikan. Pendidikan Islam, khususnya madrasah dan pesantren—yang sekali lagi bukan hanya merupakan lembaga pendidikan, tetapi juga lembaga dakwah—juga tidak luput dari tantangan globalisasi itu. Karena itu, nampaknya penting bagi kita memahami apa sebenarnya “globalisasi” itu; tantangan apa yang dihadirkannya terhadap dunia pendidikan, khususnya, pendidikan Islam, dan bagaimana lembaga pendidikan Islam seharusnya meresponi tantangan globalisasi tersebut.
Globalisasi dan Dunia Pendidikan 
Proses “globalisasi” yang terus menemukan momentumnya sejak dua dasawarsa menjelang milenium baru telah memunculkan wacana baru dalam berbagai lapangan kehidupan: literatur akademik, media massa, forum-forum seminar, diskusi, dan pembahasan dalam berbagai lembaga. Penggunaan istilah “globalisasi” semakin meluas termasuk di Indonesia; penggunaan istilah lain seperti “kesejagatan” tidak cukup representatif untuk menampung semua makna dan nuansa yang tercakup dalam istilah “globalisasi” tersebut.
“Globalisasi” adalah kata yang digunakan untuk mengacu kepada “bersatunya” berbagai negara dalam globe menjadi satu entitas (Mohamad 2002:13). Secaraistilahi “globalisasi” berarti “perubahan-perubahan struktural dalam seluruh kehidupan negara bangsa yang mempengaruhi fundamen-fundamen dasar pengaturan hubungan antar manusia, organisasi-organisasi sosial, dan pandangan-pandangan dunia” (al-Roubaie 2002:7).
Perubahan-perubahan struktural dan perkembangan yang mendorong momentum bagi globalisasi tidak ragu lagi bermula dalam lapangan ekonomi dan teknologi, yang segera mengimbas ke dalam bidang politik, sosial, budaya, gaya hidup dan lain-lain. Sejumlah perubahan struktural dan perkembangan utama tersebut, antara lain, adalah:
Pertama, pertumbuhan yang cepat dalam perdagangan internasional dan keuangan yang, pada gilirannya meningkatkan ketergantungan antar negara, yang pada dasarnya dikuasai perusahaan-perusahaan multi-nasional (Multi-National Corporations/MNCs) yang terus semakin menguat. Dengan kemampuan keuangannya, MNCs mampu melakukan riset dan pengembangan dalam produk-produk baru, sehingga dapat selalu meningkatkan daya saingnya. Pada saat yang sama terjadi pertumbuhan perdagangan internasional dan integrasi pasar yang cepat, yang pada gilirannya pergerakan keuangan secara spekulatif dalam jumlah sangat besar sehingga menciptakan “financial bubble” (buih keuangan). Sekarang ini, sekitar 2 triliun US dollar setiap hari beredar di seluruh dunia; dari jumlah itu hanya 10 persen saja yang riil, selebihnya adalah “uang panas” (hot money). Akibatnya, ekonomi negara-negara berkembang, seperti Indonesia, menjadi semakin rawan dan rentan terhadap perubahan langkah-langkah dan permainan spekulan finansial global, seperti George Soros.
Dalam globalisasi perdagangan dan keuangan ini, singkatnya tidak ada negara Muslim yang mampu menjadi “pemain”. Sebaliknya, negara-negara Muslim terperangkap dalam jaring-jaring ekonomi global, tergantung sepenuhnya pada pasar dunia baik ekspor maupun impor. Lebih jauh, struktur produksi dan produktivitas ekonomi di negara-negara Muslim tidak memenuhi standar internasional. Keputusan dan kebijakan ekonomi sangat sentralistik dengan kebebasan yang sangat terbatas usaha swasta untuk berpartisipasi dalam kehidupan ekonomi. Kebijakan dan praktek-praktek KKN menciptakan “ekonomi biaya tinggi” (high cost economy) yang membuat seluruh sektor ekonomi dan industri menjadi tidak kompetitif.
Kedua, peningkatan utang dan ketergantungan negara-negara berkembang—yang sebagian besarnya merupakan negara-negara Muslim—pada pasar keuangan internasional. Utang luarnegeri negara-negara berkembang meningkat dari US$ 630 milyar pada 1980 menjadi US$ 2.6 triliun pada 1998, sekitar 40 persen dari total GDP mereka secara keseluruhan. Beban utang yang demikian berat menimbulkan kesulitan-kesulitan yang sangat parah bagi negara-negara tersebut untuk melakukan pembangunan manusia secara berkelanjutan.
Lebih jauh, utang dan kesulitan keuangan itu meningkatkan penanaman modal asing secara langung (PMA); pada 2001, sekitar 60 persen investasi yang ditanamkan di negara-negara berkembang adalah milik asing, yang berarti bahwa ekonomi dikuasai pihak asing. Pihak asing ini nyaris tidak memiliki tanggungjawab sosial ketika kondisi ekonomi, sosial, politik dan keamanan mengalami kemerosotan, sebaliknya mereka buru-buru memindahkan dana dan investasinya ke luar negeri, seperti dialami Indonesia sejak krisis ekonomi dan politik 1997.
Ketiga, meningkatnya peranan lembaga-lembaga keuangan dan perdagangan internasional seperti IMF, World Bank, WTO dan lain-lain dalam menentukan kebijakan dan program ekonomi, sosial dan politik negara-negara berkembang. Ini berarti kemerosotan kedaulatan negara-negara berkembang, karena mereka harus tunduk kepada kebijakan dan keputusan lembaga internasional tadi. Lembaga-lembaga internasional ini selain menekankan isyu seperti HAM, buruh anak-anak, kekayaan intelektual, dan standar-standar lingkungan hidup, juga memaksakan kebijakan penghapusan subsidi dan pengeluaran pemerintah bagi rakyat banyak. Salah satu tujuan kebijakan ini adalah mengurangi keterlibatan pemerintah dalam ekonomi pasar, sehingga meningkatkan efisiensi pemerintah. Tetapi kebijakan penghapusan subsidi, yang berarti kenaikan harga berbagai komoditas—seperti yang diambil pemerintah Presiden Megawati pada awal 2003—hanya mengakibatkan rakyat banyak semakin menderita, dan miskin, tidak mampu lagi memenuhi kebutuhan dasar mereka, karena terjadinya kenaikan harga seluruh kebutuhan pokok dan lain-lain.
Keempat, pesatnya kemajuan teknologi telekomunikasi dan transportasi, yang memungkinkan terjadinya penyebaran informasi dan nilai-nilai secara global dengan menciutkan jarak dan waktu. Dalam bidang ekonomi, kemajuan dalam bidang ini tidak hanya mendorong terjadinya percepatan dalam perdagangan global, tetapi jugaknowledge-based economy. Tetapi hanya negara-negara maju—penguasa teknologi telekomunikasi maju—yang menguasai knowledge-based economy karena mereka berbagai fasilitas yang esensial bagi riset dan pengembangan dalam bidang ini. Karena itu, “knowledge and technological gaps” semakin meluas di antara negara-negara maju dan negara-negara berkembang, sehingga kelompok negara-negara terakhir ini tidak dapat mengambil manfaat dari globalisasi.
Dalam hal transmissi informasi dan nilai-nilai, negara-negara berkembang lagi-lagi berada dalam posisi tidak menguntungkan; mereka hanya menjadi “receiving ends” dari penyebaran informasi dan nilai-nilai yang dilakukan negara-negara maju, pemegang dominasi dan hegemoni teknologi informasi canggih. Banyak negara Muslim bahkan tidak memiliki akses kepada teknologi telekomunikasi; sebagiannya bahkan menganggap teknologi telekomunikasi sebagai ancaman terhadap keamanan negara, bukan sebagai sarana untuk mengembangkan SDM.
Kelima, berakhirnya perang dingin dan bangkitnya demokrasi liberal. Bangkrutnya sistem ekonomi dan politik komunis yang diikuti dengan disintegrasi politik dan wilayah, membuat semakin banyak orang percaya bahwa demokrasi liberal sebagai satu-satunya alternatif yang feasible dan viable bagi keberlangsungan dan kemajuan kehidupan ekonomi dan politik. Sebagian besar negara Muslim, khususnya di Timur Tengah bukanlah demokrasi, tetapi otokrasi. Bahkan terjadi “defisit demokrasi” di banyak negara Muslim di Timur Tengah.
Pada sebagian negara Muslim lain yang sedang mengembangkan demokrasi—seperti Indonesia—tengah berlangsung “liberalisasi politik” yang gilirannya diikuti dengan “desentralisasi”, “otonomisasi”, “devolusi”, atau “dekonsentrasi. Sayangnya, negara-negara ini menghadapi kesulitan-kesulitan politik, ekonomi, sosial, budaya dan lain-lain untuk dapat menyelenggarakan program “desentralisasi” secara baik. Akibatnya, negara-negara ini terus mengalami krisis politik, ekonomi, dan sosial-budaya.
Kelima perubahan besar dalam lapangan ekonomi dan politik di atas mau tidak mau menimbulkan perubahan-perubahan besar dalam bidang pendidikan, baik pada tingkat internasional maupun nasional dan lokal. Pada tingkat internasional, terjadi reorientasi pendidikan baik pada tingkat kelembagaan, kurikulum, maupun manajemen sesuai dengan perkembangan-perkembangan baru yang terjadi dalam proses globalisasi. Reorientasi itu mencakup, antara lain; pengembangan kurikulum yang lebih sesuai dengan knowledge-based economy, HAM, demokratisasi dan multikulturalisme; kelembagaan yang lebih otonom melalui privatisasi dan penyertaan dunia industri dan masyarakat luas (community-based education); dan manajemen yang mengarah kepada sistem, proses, nilai-nilai, dan budaya “corporate good govenance” (Burbules 2001; Green 1997; Kunio 2001:21-7).
Pada tingkat nasional, respons dunia pendidikan terhadap globalisasi telah menjadi wacana sejak awal 1990-an, dan menemukan momentum melalui perumusan “paradigma baru” pendidikan nasional selaras dengan reformasi nasional berikutan dengan jatuhnya Presiden Soeharto dari kekuasaannya pada Mei 1998. Dalam rumusan “Arah Pandangan Dasar Pendidikan Nasional” yang tercakup dalam Paradigma Baru Pendidikan Nasional itu dikemukakan 10 kerangka acuan, antara lain: “Pendidikan dengan prinsip global. Pendidikan harus mampu berperan dan menyiapkan peserta didik dalam konstalasi masyarakat global. Dalam pendidikan berwawasan global itu…pada waktu yang sama pendidikan memiliki kewajiban untuk melestarikan karakter nasional. Meski konsep nation state sudah diragukan…dan bahkan global state yang tidak lagi mengenal tanpa batas (borderless), karena kemajuan teknologi informasi, pembinaan karakter nasional tetap relevan dan bahkan harus dilakukan” (Jalal & Supriadi, eds, 2001:16-8).
Pada akhirnya berbagai kecenderungan perkembangan baru pendidikan yang muncul sebagai dampak atau konsekuensi globalisasi mesti diadopsi sistem pendidikan nasional. Secara ringkas, kenyataan ini tercermin dalam rumusan paradigma baru pendidikan nasional yang mencakup arah sebagai berikut: desentralistik (otonom); kebijakan yang bottom up; orientasi pendidikan holistik untuk pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya [multikulturalisme], menjunjung tinggi nilai moral, kemanusiaan dan agama, kesadaran kreatif, produktif; dan kesadaran hukum; peningkatan peran serta masyarakat secara kualitatif dan kuantitatif; dan pemberdayaan institusi masyarakat—keluarga, LSM, pesantren, lembaga-lembaga pendidikan lainnya, dan dunia usaha.
Selanjutnya paradigma baru pendidikan nasional itu menggariskan prinsip-prinsip yang terkandung dalam arah baru pengembangan pendidikan nasional, yaitu: 1.Kesetaraan perlakuan sektor pendidikan dengan sektor lain; 2.Pendidikan berorientasi rekonstruksi sosial; 3.Pendidikan dalam rangka pemberdayaan bangsa; 4.Pemberdayaan infrastruktur sosial untuk kemajuan pendidikan nasional; 5.Pembentukan kemandirian dan keberdayaan untuk mencapai keunggulan; 6.Penciptaan iklim yang kondusif untuk tumbuhnya toleransi dan konsensus dalam kemajemukan; 7.Perencanaan terpadu secara horizontal (antarsektor) dan vertikal (antarjenjang); 8.Pendidikan berorientasi peserta didik; 9.Pendidikan multikultural; 10.Pendidikan dengan perspektif global.
Respon Pendidikan Islam
Tantangan global dan globalisasi yang terus menemukan momentumnya sejak akhir milenium lalu, yang dikemukakan secara singkat di atas, jelas jauh lebih kompleks daripada tantangan-tantangan yang pernah dihadapi lembaga pendidikan Islam di masa silam (Cf Hasan 1988:114). Kompleksitas tantangan itu menjadi lebih rumit lagi, ketika kita harus mengakui, bahwa secara internal lembaga-lembaga pendidikan Islam umumnya masih menghadapi berbagai masalah yang masih belum terselesaikan sampai sekarang ini.
Tantangan-tantangan dan masalah-masalah internal pendidikan Islam pasca modernisasi dan tantangan globalisasi pada hari ini dan masa depan, secara umum adalah sebagai berikut: Pertama, jenis pendidikan yang dipilih dan dilaksanakan. Dengan terjadinya perubahan-perubahan kebijakan dan politik pendidikan sejak tahun 1970an dan peluang-peluang baru seperti diisyaratkan dalam paradigma baru pendidikan nasional, seperti yang dikemukakan di atas, kini lembaga-lembaga pendidikan Islam memiliki peluang dan sekaligus tantangan berkenaan dengan jenis pendidikan yang dapat dipilih dan diselenggarakan, yang setidak-tidaknya kini menyediakan empat pilihan: 1.Pendidikan yang berpusat pada tafaqquh fi al-din, seperti yang ada dalam tradisi pesantren pada masa pra-modernisasi (pesantrensalafiyyah), dengan kurikulum yang hampir sepenuhnya ilmu agama. Di tengah arus modernisasi pesantren belakangan terdapat kecenderungan sejumlah pesantren untuk mempertahankan atau bahkan kembali kepada karakter Salafiyyahnya. 2.Pendidikan madrasah yang mengikuti kurikulum Diknas dan Depag. Madrasah semula merupakan “pendidikan agama plus umum”, tetapi dengan ekuivalensi seperti digariskan UUSPN 1989 adalah “sekolah umum berciri agama”. 3.Sekolah Islam “plus” atau “unggulan” yang mengikuti kurikulum Diknas, yang pada dasarnya adalah “pendidikan umum plus agama”. 4.Pendidikan ketrampilan (vocational training), apakah mengikuti model “STM” atau MA/SMU ketrampilan.
Keempat jenis pilihan ini dapat dilaksanakan satu lembaga pendidikan Islam tertentu, atau sebagian besar atau secara keseluruhan dalam satu kelembagaan pesantren tertentu (pesantren menjadi semacam “holding company”). Keempat pilihan ini secara secara implisit mengakomodasi hampir keseluruhan harapan masyarakat secara sekaligus kepada pendidikan Islam. Harapan pertama dan utama adalah agar lembaga-lembaga pendidikan Islam secara keseluruhan tetap menjalankan peran sangat krusialnya dalam tiga hal pokok: Pertama, transmissi ilmu-ilmu dan pengetahuan Islam (transmission of Islamic knowledge). Kedua, pemeliharaan tradisi Islam (maintenance of Islamic tradition). Ketiga, reproduksi (calon-calon) ulama (reproduction of `ulama’). Harapan kedua—yang tidak berarti kurang penting—adalah agar para peserta didik tidak hanya mengetahui ilmu agama, tetapi juga ilmu umum—atau sebaliknya tidak hanya menguasai pengetahuan umum, tetapi juga unggul dalam ilmu agama—dan dengan demikian, dapat melakukan mobilitas pendidikan. Dan harapan ketiga, agar para anak didik memiliki ketrampilan, keahlian atau lifeskills—khususnya dalam bidang-bidang sains dan teknologi yang menjadi karakter dan ciri masa globalisasi—yang pada gilirannya membuat mereka memiliki dasar-dasar “competitive advantage” dalam lapangan kerja, sebagaimana dituntut di alam globalisasi.
Pengembangan “competitive advantage” atau “competitive edge” di dunia madrasah, pesantren atau pendidikan Islam umumnya jelas bukanlah hal yang mudah. Pengembangan itu, bukan hanya memerlukan penyediaan SDM guru yang kualified, laboratorium/bengkel kerja dan hardware lain, tetapi juga perubahan sikap teologis dan budaya. Bukan rahasia lagi, bahwa paham teologis yang dominan pada kalangan umat Islam masih cenderung meminggirkan ilmu-ilmu yang berkenaan dengan sains dan teknologi, karena secara epistimologis dianggap tidak atau kurang syah, karena sains dan teknologi merupakan produk rasio dan pengujian empiris. Lebih jauh, budaya sains dan teknologi masih kurang mendapat tempat dalam masyarakat kita umumnya; tingkat melek—apalagi budaya—komputer, bisa diduga, masih sangat rendah dalam masyarakat kita umumnya, wa bil-khusus dalam lembaga-lembaga pendidikan Islam umumnya.
Tetapi, sekali lagi, mengambil keseluruhan pilihan jenis pendidikan ini jelas mengandung berbagai kesulitan dan dilema tertentu bagi lembaga pendidikan Islam yang memiliki pretensi ke arah tersebut. Kesulitan itu terletak bukan hanya pada keterbatasan kapasitas kelembagaan insitusi-institusi pendidikan Islam umumnya, tetapi juga karena masih lemahnya SDM yang kualified dalam proses pembelajaran, dan keterbatasan-keterbatasan lainnya. Karena itu, langkah yang paling realistis adalah mengambil satu atau dua pilihan itu, sementara sedikit banyak berusaha mengakomodasi pilihan-pilihan lainnya.
Kedua, berkaitan dengan masalah pertama di atas adalah persoalan identitas diri lembaga pendidikan Islam tertentu. Pada satu segi, pengakuan atas dan penyetaraan pendidikan terhadap lembaga-lembaga pendidikan Islam telah membuka berbagai peluang bagi penyelenggaran berbagai jenis pendidikan pendidikan Islam. Tetapi pengambilan pilihan-pilihan tadi sangat bisa jadi dapat mengorbankan identitas pendidikan Islam itu sendiri sebagaimana telah terpatri di dalam masyarakat. Di sini terjadi “perbenturan” antara “social expectations” dengan “academic expectations” yang disinggung di atas. Dan hal ini, terlihat khususnya di pesantren. Keterlibatan pesantren dalam program-program non-kependidikan seperti pengembangan pesantren sebagai pusat koperasi, pusat pengembangan teknologi tepat guna bagi pedesaan, pusat pengembangan pertanian dan peternakan, pusat penyelamatan lingkungan hidup, pusat pengembangan HAM dan demokrasi, dan sebagainya juga dapat mengaburkan identitas pesantren.
Lebih jauh, paradigma baru pendidikan nasional juga sangat menekankan kenyataan bahwa lembaga-lembaga pendidikan Islam umumnya merupakan “pendidikan berbasiskan masyarakat” (community-based education) selama berabad-abad. Pada satu segi, pengakuan ini merupakan perkembangan yang positif, khususfya menyangkut eksistensi pendidikan Islam itu sendiri. Tetapi, pada segi lain, pengakuan itu secara implisit menuntut peran lebih besar masyarakat dalam pendidikan Islam. Masyarakat kini dituntut tidak hanya mendirikan bangunan fisik dan perangkat-perangkat pokok lembaga pendidikan Islam, tetapi lebih-lebih lagi dalam mengembangkannya menjadi pendidikan yang berkualitas (quality education) untuk menyiapkan peserta didik yang memiliki—setidak-tidaknya dasar-dasar—“keunggulan kompetitif tersebut. Di sini, masyarakat pendukung pendidikan Islam diharapkan dapat menyediakan berbagai prasarana dan sarana pendukung yang lebih memadai bagi terselenggaranya pendidikan yang mampu mendorong penanaman dasar-dasar keunggulan kompetitif tersebut.
Ketiga, penguatan kelembagaan dan manajemen. Perubahan-perubahan kebijakan pendidikan nasional—misalnya yang menekankan pada peran lembaga pendidikan Islam sebagai “community-based education”—dan tantangan-tantangan global mengharuskan lembaga pendidikan Islam untuk memperkuat dan memberdayakan kelembagaannya. UU Yayasan yang baru dan juga UUD BHP menghendaki lembaga-lembaga pendidikan Islam untuk meninjau dan merumuskan kembali kelembagaannya dan hubungannya dengan para pelaksana kependidikan; madrasah dan/atau sekolah. Kelembagaan pendidikan Islam haruslah bertitiktolak pada prinsip-prinsip kemandirian (otonom), profesionalitas, akuntabilitas dan kredibilitas.
Dalam mewujudkan quality education, yayasan (atau Badan Hukum Pendidikan atau bahkan PT) yang menjadi pemilik lembaga-lembaga pendidikan seyogyanya memberikan ruang gerak lebih besar kepada para pelaksana pendidikan, khususnya kepala madrasah atau kepala sekolah Islam agar: Pertama, dapat mengorganisasi dan memberdayakan sumber daya yang ada untuk memberikan dukungan yang memadai bagi terselenggaranya proses belajar mengajar yang maksimal, bahan pengajaran yang cukup, dan pemeliharaan fasilitas yang baik; kedua, dapat berkomunikasi secara teratur dengan pemilik lembaga (dan/atau yayasan), guru, staf, orangtua, siswa, masyarakat, dan pemerintah setempat.
Selanjutnya, madrasah, pesantren atau lembaga pendidikan Islam umumnya sudah waktunya dikelola dengan manajemen moderen sehingga pendidikan yang diselenggarakannya dapat lebih efisien dan efektif. Prinsip-prinsip manajemen moderen seperti “total quality management” (TQM) atau “corporate good governance” yang sudah mulai diterapkan pada sementara lembaga-lembaga pendidikan lain, agaknya dapat pula mulai dikaji di lingkungan lembaga-lembaga pendidikan Islam.

Penutup

Meski pesantren, madrasah, sekolah Islam, STAIN, IAIN, UIN dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya menghadapi berbagai tantangan, seperti dikemukakan di atas, peluang bagi pendidikan Islam jelas masih tetap besar. Situasi sosiologis umat Islam Indonesia, yang setidak-tidaknya dalam dua dasawarsa terakhir menemukan “new attachment” kepada Islam merupakan modal yang sangat berharga bagi madrasah, sekolah Islam, dan lembaga-lembaga pendidikan Islam umumnya. Fenomena kemunculan “madrasah favorit”, “sekolah Islam unggulan”, “pesantren urban”, dan sebagainya merefleksikan, bahwa pendidikan Islam dalam bentuk madrasah, sekolah Islam, pesantren atau sekolah/madrasah yang bermodel/berbasis pesantren (pesantren-based Islamic education) tetap mendapat tempat yang semakin kuat. Kini tinggal bagi madrasah dan lembaga-lembaga pendidikan Islam lainnya untuk memberdayakan dirinya untuk mampu benar-benar menjadi “pendidikan alternatif” yang memiliki keunggulan komparatif dan kompetitif dalam menghadapi arus modernisasi dan globalisasi.
Wallahu a`lam bish-shawab.

Senarai Sumber

Azra, Azyumardi, 2002, Paradigma baru Pendidikan Nasional: Rekonstruksi dan Demokratisasi, Jakarta: Kompas.
Azra, Azyumardi, 1999a, Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi menuju Milenium Baru, Jakarta: Logos, Bagian Pertama, Pendidikan Islam:Tradisi dan Tantangan Milenium Baru, khususnya, “Kebangkitan Sekolah Elite Muslim: Pola Baru “Santrinisasi”.
Azra, Azyumardi, 1999b, Esei-esei Intelektual Muslim & Pendidikan Islam, Jakarta: Logos.
Burbules, N. & B. Torres (eds.), 2001, Globalization and Educational Policy, New York: Routledge.
Camilleri, Joseph A & Chandra Muzaffar, 1998, Globalisation: The Perspectives and Experiences of the Religious Traditions of Asia Pacific, Petaling Jaya: International Movement for a Just World.
Green, Andy., 1997, Education, Globalization and the Nation State, London: Macmillan.
Hing, Lee Kam, 1995, Education and Politics in Indonesia 1945-1965, Kuala Lumpur: University of Malaya Press, khususnya Chapter 4, “Education and Religion”.
Jalal, Fasli & Dedi Supriadi (eds.), Reformasi Pendidikan dalam Konteks Otonomi Daerah, Yogyakarta: Adicita.
Kunio, Yoshihara, 2001, Globalization & National Identity, Bangi: Penerbit Universiti Kebangsaan Malaysia.
Mohamad, Mahathir, 2002, Globalisation and the New Realities, Dubang Jaya: Pelanduk Publications, khususnya bab-bab: “Islam and Globalisation”, “The Impact of Globalisation on the Islamic World”, “The Challenge of Globalisation”.
Munhanif, Ali, 1998, “Prof. Dr. A. Mukti Ali: Modernisasi Politik-Keagamaan Orde Baru”, dalam Azyumardi Azra & Saiful Umam (eds), Menteri-menteri Agama RI: Biografi Sosial-Politik, Jakarta: INIS, PPIM IAIN Jakarta & Litbang Depag RI.
Al-Roubaie, Amer, 2002, Globalization and the Muslim World, Shah Alam: Malita Jaya Publishing House.
Tilaar, HAR, 2002a, Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pedagogik Transformatif untuk Indonesia, Jakarta: Grasindo, khususnya, Bab I Demokratisasi, Bab II Ilmu Pengetahuan dan Teknologi, dan Bab II Globalisasi.
Tilaar, HAR, 2002b, Membenahi Pendidikan Nasional, Jakarta: Rineka Cipta, khususnya Bab I Pengembangan SDM dalam Era Persaingan Bebas.
**Azyumardi Azra adalah Direktur Sekolah PascaSarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta sejak Januari 2007; dan juga Deputi Kesra pada Sekretariat Wakil Presiden RI (sejak April 2007). Sebelumnya, dia adalah Rektor universitas yang sama selama dua periode (1998-2002, dan 2002-2006).
Memperoleh MA, MPhil dan PhD dari Columbia University, New York (1992), pada Mei 2005 dia memperoleh DR HC dalam humane letters dari Carroll College, Montana, USA. Ia juga gurubesar kehormatan Universitas Melbourne (2006-9); Selain itu juga anggota Dewan Penyantun International Islamic University, Islamabad, Pakistan (2005-sekarang); Komite Akademis The Institute for Muslim Society and Culture (IMSC), International Aga Khan University (London, 2005-sekarang).
Dalam bidang ilmu pengetahuan dan riset, dia adalah anggota Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI, 2005-sekarang); anggota Dewan Riset Nasional (DRN, 2005-sekarang). Juga anggota Southeast Asian Regional Exchange Program (SEASREP, Tokyo, 1999-2001; Selection Committee IIEF (Indonesian International Education Foundation, Jakarta 2007-sekarang), Asian Research Foundation-Asian Muslim Action Network (ARF-AMAN, Bangkok, 2004-sekarang); The Habibie Center Scholarship (2005-sekarang); Asian Scholarship Foundation (ASF, Bangkok, 2006-sekarang); Asian Public Intellectual (API), the Nippon Foundation (Tokyo, 2007-sekarang); anggota Selection Committee Senior Fellow Program AMINEF-Fulbright (2008); anggota Komite Seleksi Nasional Indonesia International Education Foundation (IIEF, 2007-sekarang).
Selain itu, dia anggota Dewan Penasehat United Nations Democracy Fund (UNDEF, New York, 2006-8); International IDEA (Institute for Democracy and Electoral Assistance), Stockholm (2007-9); Multi Faith Centre, Griffith University, Brisbane (2005-9); Institute of Global Ethics and Religion, USA (2004-sekarang);; Center for the Study of Contemporary Islam (CSCI, University of Melbourne, 2005-sekarang); Tripartite Forum for Inter-Faith Cooperation (New York, 2006-sekarang); anggota Council on Faith, World Economic Forum (Davos 2008-sekarang).
Dia juga adalah pemimpin redaksi Studia Islamika: Indonesian Journal for Islamic Studies (Jakarta, 1994-sekarang); Journal of Qur’anic Studies (SOAS, University of London, 2006-sekarang); Journal of Usuluddin (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2006-sekarang); The Australian Journal of Asian Law (Sydney, Australia, 2008-sekarang); IAIS Journal of Civilisation Studies (International Institute of Advanced Studies, Kuala Lumpur, 2008-sekarang); Jurnal Sejarah (Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2007-sekarang); dan Prisma (LP3ES, Jakarta, 2009-sekarang).
Dia telah menerbitkan lebih dari 21 buku, yang terakhir adalah Indonesia, Islam and Democracy: Dynamic in a Global Context (Jakarta & Singapore, TAF, ICIP, Equinox-Solstice, 2006); Islam in the Indonesian World: An Account of Institutional Development (Mizan International: 2007); (co-contributing editor), Islam Beyond Conflict: Indonesian Islam and Western Political Theory (London: Ashgate: 2008). Lebih 30 artikelnya dalam bahasa Inggris telah diterbitkan dalam berbagai buku dan jurnal pada tingkat internasional.
Pada 2005 ia mendapatkan The Asia Foundation Award dalam rangka 50 tahun TAF atas peran pentingnya dalam modernisasi pendidikan Islam; dan dalam rangka Peringatan Hari Kemerdekaan RI, pada 15 Agustus 2005 mendapat anugerah Bintang Mahaputra Utama RI atas kontribusinya dalam pengembangan Islam moderat yang disampaikan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono.
Sumber : http://wacana-penebar-ilmu.blogspot.com/2012/03/pendidikan-islam-di-era-globalisasi.html

Subscribe to this Blog via Email :